Sabtu, 13 Agustus 2011

Tanjung Puting, Kalbar; Ekowisata Tak Tersaingi

Tanjung Puting tak punya saingan. Di sini, kita bisa jamin orang untuk melihat orang utan.” Tanpa basa-basi, Ary S. Suhandi mengumbar optimisme ini. Direktur Eksekutif Indonesia Ecotourism Network (Indecon) ini begitu yakin ekowisata kawasan Tanjung Puting bisa melaju. Apalagi nama daerah ini sudah populer di telinga para wisatawan petualangan dunia. Hanya saja, ada sederet syarat yang harus dipenuhi agar semuanya terjadi.

Indonesia kaya keanekaragaman hayati khas alam tropika. Ini modal bagus untuk membangun pasar pariwisata. Negeri gemah ripah loh jinawi ini punya dua spesies yang paling terkenal di muka bumi: Komodo dan Orang Utan.

Orang-orang negeri seberang selalu terobsesi untuk bisa melihat kedua jenis unik itu. Mau tahu alasannya? Mudah saja kok jawabnya, komodo dikenal sebagai warisan purba yang masih tersisa sedang orang utan adalah kera besar (great apes) yang hidup di luar Afrika. ”Sebetulnya, ada satu lagi, yaitu Tangkasi. Cuma terlalu sulit untuk dilihat,” imbuh Ary.

Sebagai salah satu tempat tinggal orang utan, Tanjung Puting punya potensi untuk dikunjungi para adventurer. Kelasnya bisa lokal dan mancanegara. Dan ini sebetulnya sudah berjalan sejak tahun tujuh puluhan. Namun kalau mau bicara lebih jauh, kawasan bergelar Taman Nasional sejak 1993 ini bisa digali potensi ekowisata.

Tampaknya hal ini yang belum tergarap secara maksimal. Entah itu strategi pengembangannya maupun bentuk implementasi di lapangan. Ketimbang daerah mukim orang utan lainnya, Tanjung Puting jelas punya kelebihan. ”Tanjung Puting ini merupakan tempat rehabilitasi orang utan pertama di Indonesia. Artinya ini bisa jadi garansi untuk orang bisa melihat orang utan,” nilai Ary yang kenyang pengalaman soal ekowisata.

Ary tak sedang membual sebab dunia pun sudah mengakui kalau Tanjung Puting itu adalah lokasi riset paling penting dan telah dikenal banyak orang. Dari sisi konservasi, orang utan merupakan spesies yang luar biasa dahsyatnya sebagai magnet konservasi di daerah ini. Pasalnya, populasi spesies tersebut dianggap terbesar dibandingkan kawasan konservasi lainnya di seluruh Kalimantan.

Malahan Ary berani memberi garansi bahwa wilayah konservasi seluas 415.040 hektar ini tak punya saingan. Di Bohorok, Sumatera Utara, lanjut Ary, pengelola kawasan telah melakukan kesalahan. Mereka membiarkan pembangunan yang berjalan tanpa konsep. Akhirnya, jadilah kawasan beton di mana-mana. Kealamian daerah sudah ditinggalkan. Kalau sudah begini, Bahorok tak lagi bisa disebut menerapkan ekowisata.

Modal bagus Tanjung Puting lainnya, promosi gratis atas tayangan di saluran petulangan termasyur, National Geographic. Ini satu-satunya tempat yang dikunjungi oleh artis top Hollywood, Julia Roberts. ”Modal ini yang harusnya kita kembangkan bersama,” tegas Ary.

Kalau dikelola dengan baik ekowisata bakal jadi salah satu kunci yang membuka gerbang penyelamatan orang utan. Pandangan ini sebetulnya sederhana saja. Untuk melakukan ekowisata kan kita harus tetap memelihara lingkungan kawasan dengan baik. Nah, bila kawasannya terawat baik berarti orang utan bisa tetap tinggal dengan sejahtera.

Lagipula, Ary S. Suhandi dari Indecon sudah mengingatkan bahwa para wisatawan ekowisata (ekoturis) punya karakteristik yang berbeda dengan pengunjung obyek wisata alam biasa. ”Mereka ini orang-orang yang sudah mempelajari geografi Indonesia sebelum pergi. Jadi begitu ada kejadian bom di Bali atau Jakarta, mereka nggak ngebatalin rencana travelnya.”

Sebagai bukti, Ary menunjuk data kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang dimiliki Lusman Pasaribu – Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Pada 2001, tercatat 400 turis yang masuk ke kawasan ini. Tahun berikutnya justru meningkat sampai pada angka 850 orang. Sedang untuk tahun ini, perhitungan baru sampai bulan Juli, tak kurang 300 wisman jalan-jalan ke sini

Pesona Tanjung Puting tak cuma didominasi orang utan, tapi kita bakal terpesona oleh kesegaran udaranya, langit cerah yang membentang pada malam hari menampilkan gugusan bintang-bintang, rintik hujan yang menciptakan kesejukan udara, serta kemilau tenggelamnya matahari. Itu sebabnya, Galdikas menjuluki daerah ini sebagai ”Garden of Eden”.

Sunarto, Manajer Orangutan CII sudah membuktikan sendiri keindahan panorama kawasan ini. Biolog jebolan Universitas Indonesia itu cuma bisa bilang, ”Bila Umar Kayam menemukan seribu kunang-kunang di Manhattan, kami melihat jutaan kunang-kunang di Sungai Sekonyer yang hinggap di antara daun-daun pohon nipah. Semuanya berkelap-kelip di sepanjang sungai.”

sumber : perempuan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar